Selasa, 30 November 2010

YAHUDI SUDAH LAMA ADA DI MANADO

Ternyata ada sebuah tugu menjulang setinggi 62 kaki di puncak dataran tinggi pinggiran kota Menado. Bangunan ini adalah menorah raksasa, sebagai salah satu lambang suci peribadatan Yahudi. Dan, sudah lama dikenal sebagai daerah yang banyak dihuni penganut Yahudi.

Dengan izin dari pemerintah daerah setempat, orang-orang keturunan Yahudi Belanda itu membuat ruang bagi komunitas mereka di kawasan itu. Alhasil, bendera-bendera Israel terlihat di pelataran ojek dekat tugu menorah raksasa tersebut.


Demikian informasi sebagaimana dikutif hidayatullah.com, Senin (29/11). Menorah itu salah satunya terletak di dekat sebuah sinagog yang dibangun sekitar 6 tahun lalu. Bintang Daud besar menghiasi langit-langit sinagog itu. Tugu, sinagog dan fasilitasnya semua dibangun dengan biaya dari kas pemerintah daerah.


Sebelum meminta bantuan dari komunitas Yahudi lain di luar Indonesia, kaum Yahudi setempat mempelajari ajaran agama mereka lewat internet. Halaman-halaman Taurat hasil cetakan dari internet mereka kumpulkan.

Rekaman video berisi ajaran Yahudi mereka unduh dari YouTube.

Memimpin sebuah acara makan malam perayaaan
Sabbath di kediaman keluarganya, Toar mengenakan pakaian ala Yahudi, dengan topi hitam lebar, kemeja putuh dengan setelan jas warna hitam.

Bersama sekitar sepuluh orang Yahudi, mereka biasanya beribadah di sebuah sinagog peninggalan Belanda di pinggiran kota Menado. "Tapi jika dibandingkan dengan Yahudi di Yerusalem atau Brooklyn, kami belum sebanding,"kata Toar Palilingan yang kini dikenal dengan nama Yaakov Baruch itu.


Indonesia dan Israel tidak memiliki hubungan diplomatik, namun sejak berpuluh-puluh tahun lalu secara diam-diam pemerintah telah melakukan kerjasama di bidang militer dan ekonomi dengan negara Zionis itu.


Beberapa tahun belakangan, para pengusaha dari Israel dan Yahudi dari negara lain secara diam-diam berkunjung ke Indonesia untuk mencari peluang usaha. Salah satu di antaranya adalah Moshe Kotel. Pria berusia 47 tahun ini lahir di El Salvador namun memiliki kewarganegaraan Israel dan Amerika Serikat.


Moshe kotel telah mengunjungi Manado setiap tahun sejak 2003 dan memiliki bisnis telur organik. Kotel yang memiliki istri orang Manado ini tampak gugup, ketika pertama kali mendarat di bandara setempat, karena kemalaman.


Tapi setelah ternyata ada bendera-bendera Israel di taksi-taksi bandara, dia selalu merasa diterima di Manado. “Pemerintah Sulawesi Utara pun mendirikan tugu menorah itu tahun lalu dengan biaya 150.000 dollar AS,” kata Margarita Rumokoy, kepala Dinas Pariwisata setempat.


Denny Wowiling, seorang anggota DPRD, mengatakan dirinya mengajukan pembangunan menorah itu setelah melihat tugu serupa yang terdapat di depan gendung Knesset di Israel. Katanya, dia berharap tugu itu dapat menarik turis-turis dan pengusaha dari Eropa berkunjung ke daerahnya.


Menurut Anthony Reid, pakar masalah Asia Tenggara di Universitas Nasional Australia, pada masa penjajahan Belanda komunitas Yahudi menguasai bisnis di banyak kota dagang di Indonesia. Seringkali mereka menjalani usaha real estate dan bertindak sebagai penghubung antara pemerintah kolonial dan penguasa setempat.


Pada masa sebelum kemerdekaan, keluarga keturunan Yahudi Belanda di Menado menjalankan agama mereka secara terang-terangan. Setelah itu mereka pindah agama Kristen atau Islam dengan alasan untuk keamanan.


"Kami menyuruh anak-anak agar jangan pernah bicara tentang leluhur Yahudi kami," kata Leo van Beugen, 70, yang dibesarkan sebagai pengikut Katolik Roma. "Jadi cucu-cucu tidak tahu." Van Beugen adalah kakek-pamannya Toar Palilingan.


Baru lebih dari sepuluh tahun lalu, ketika mereka berdebat tentang Bibel dan Musa, nenek-bibinya mengungkap tentang darah Yahudi mereka. Toar Palilingan yang bekerja sebagai dosen di Universitas Sam Ratulangi, memiliki ayah seorang Kristiani dan ibu seorang Muslim. Mereka juga menjadi dosen di tempat yang sama. Saudara dari keluarga ibunya merupakan keturunan imigran Yahudi Belanda abad ke-19, Elias van Beugen.


Untuk menunjukkan komitmennya pada apa yang dia sebut sebagai "kemurnian" ajaran Yahudi ultra Ortodoks, Toar Palilingan kadang mengenakan pakaian khas Yahudi berupa setelan warna hitam putih saat berada di tempat-tempat umum di Menado, bahkan ketika dia berada di Jakarta.


"Kebanyakan orang Indonesia belum pernah bertemu orang Yahudi, jadi mereka mengira saya dari Iran atau tempat lain," kata Toar. "Suatu kali, sekelompok demonstran Islam datang mendekati dan berkata, 'Assalamu'alaikum',"tutur Toar Palilingan. ( Sumber : NU Online ).

Tidak ada komentar: