Selasa, 30 November 2010

TRADISI KE-ILMU-AN NAHDLIYYIN DAN NUSANTARA

Sebagai organisasi yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai tradisi yang berkembang di masyarakat, maka daam proses sejarahnya kaum Nahdliyin telah berhasil membentukan sistem pengetahuan sendiri, yang merupakan akumulasi dari sistem pengetahuan yang berkembang di Nusantara. Karena itu tradisi NU adalah tradisi Nusantara dan Islam NU adalah Islam Nusantara, keduanya sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, sejak dari tradisi, adat, dengan segala bida’ah dan khurafatnya.

Tradisi keilmuan Nusantara itu telah digerus sedemikian rupa oleh sistem pengetahuan Barat yang datang bersama dengan hadirnya kolonialisme, yang sejak awal gigih mengkaji tradisi untuk menguasai spirit tradisi itu, dan kemudian dijadikan senjata untuk menaklukkan para pemangku tradisi. Berbagai prodonansi dan stelsel diterapkan untuk menyerimpung kebebasan bangsa ini, tidak hanya bidang politik dan ekonomi, tetapi juga dibelengu dari sudut pemikiran dan keilmuan. Politik bahasa telah mereka tetapkan, politik ejaan dan politik transliterasi juga diterapkan.

Atas segala penyingkiran dan pencerabutan tradisi itu para ilmuwan hampir tidak bereaksi, sebab pada umumnya mereka pendidikan Belanda sehingga menganggap apa yang dilakukan Belanda sebagai westernisasi adalah sebuah kemajuan yang dibutuhkan. Tidak disadarai hal itu mempermiskin bangsa ini dari pengetahuan dan kekayaan budaya. Penerapan ejaan dan transliterasi model Barat misalnya diterima dengan senang hati sebagai kemajuan. Padahal kebijakan itu telah merampas hak intelektual dan kebebasan berpikir kaum pribumi.

Walaupun kalangan sarjana di perguruan tinggi menerima pedoman dan ketetapan itu, tetapi kalangan ulama dan sekaligus umat, masih enggan menerimanya, karena sulit diterapkan.

Oleh karena itu sangat mengejutkan ketika gagasan untuk mengukuhkan kembali sistem transliterasi Nahdliyin ini diketengahkan oleh LTN-PBNU. Pengukuhan ini langsung mendapat tanggapan yang penuh semangat baik dari kalangan ulama, kalangan editor dan berbagai penerbit, termasuk para penulis dan peneliti independent. Mereka menyambut gagasan dengan antusias. Rupanya, selama ini mereka terbelenggu oleh sistem transliterasi yang ada, yang dianggap tidak lazim, tidak alami dan merasa tidak pas dengan citarasa kaum santri.

Dengan penuh keberanian dan dengan segala risiko mereka mau mendukung dan menerapkan sistem Nahdliyin ini, walaupun dengan risiko tidak diakui sebagai ejaan dan transliterasi standar, justeru hal itu yang akan mereka perjuangkan sebagai bagian dari sistem keilmuan yang selama ini mereka tekuni dan kembangkan.

Kalangan departemen agama yang sebelumnya menggunakan trasnliterasi yang berkembang di Nusantara, tetapi sejalan dengan gerak modernisasi sejak tahun 1970-an telah mulai menerapkan transliterasi model barat, sebab para menteri agama setelah itu tidak lagi bersasal dari ulama pesantren melainkan berasal dari pendidikan tinggi di Barat yang dengan sendirinya membawa tradisi dari kampus mereka itu.

Tradisi Barat itu kemudian dikembangkan sampai ke perguruan tinggi termasuk ke madrasah dan pesantren yang ada di lingkungan departemen agama. Apalagi kemudian sistem yang dikembangkan Barat itu kemudian dikukuhkan sebagai sitem yang diakui oleh Depag dan Diknas, sehingga tradisi barat itu menjadi aliran dominan yang mengangap sistem keilmuan termasuk trasnsliterasi lain dianggap tidak bernilai, tidak memenuhi standar ilmiah.

Sebagai organisasi besar tentu NU bertanggungjawab untuk melestarikan dan mengembangkan tradisi ulama Nusantara ini, baik sistem keilmuannya, sistem politik, serta sistem kebudayaannya. Oleh karena itu Lokakarya diselenggarakan untuk mengukuhkan tradisi Nusantara ini. Oleh karena itu kalangan Nahdliyin mengusulkan system ini sebagai sitem keilmuan Nusantara, sebagai kekuatan terbesar penyangga tradisi Nusantara. Maka sudah selayaknya NU mempelopori gerakan ini, yang diharapkan akan mampu menjadi pedoman bagi kaum Muslimin se-Nusantara, yang memang memiliki tradisi dan pemahaman keagamaan yang relatif sama.

Gagasan dan sekaligus langkah kecil ini akan membawa akibat besar, sebab dengan sendirinya akan berhadapan dengan tradisi besar yang sudah dimapankan melalui keijakan politik dan rekayasa kebudayaan selama bertahun-tahun. Maka sudah diperhitungkan gagasan ini akan dianggap tidak masuk akal karena tidak sesuai dengan standar ilmiah mereka. Tetapi perlu diingat bahwa standar ilmiah itu merupakan konvensi. Maka perlu dbuat konvensi baru untuk meruntuhkan konvensi lama yang tidak tepat untuk bangsa ini.

Sudah setengah abad lebih bangsa ini merdeka, karena itu sudah sepantasnya memperoleh kemerdekaan dalam bidang keilmuan dan pemikiran. Gagasan ini merupakan langkah ke arah sana, risikonya memang akan membngkar sistem keilmuan yang sudah mapan. Kelompok yang mapan baik intelektual, kalangan birokrat akan menentang gagasan ini. Tetapi kelompok yang memiliki harga diri terhadap budaya dan tradisi sendiri akan dengan semangat mendukung langkah ini. Apalagi di saat bangasa ini membutuhkan untuk menegaskan identiotas dan kepribadiannya.

Maka langkah ini merupakan bagian penting dalam mewujudkan Nusantara sebagai bangsa yang beridentitas dan memiliki kepribadian yang jelas yang berakar pada budaya dan tradisi sendiri. (Abdul Mun’im DZ)

Tidak ada komentar: